BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem
pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan
mengoptimalkan dan memberdayakan semua potensi dan partisipasi masyarakat.
Sebab pendidikan merupakan struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga
masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang diperlukan.[1] Bahkan secara makro, pendidikan merupakan “jantung” sekaligus
“tulang punggung” masa depan bangsa dan negara,[2] bahkan keberhasilan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan
memperbarui sektor pendidikan.[3] Sedangkan
di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam merupakan suatu kawah candradimuka
pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan peradaban
madani,[4] dan
mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia.[5] Dengan
demikian, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan
meningkatkan taraf hidupnya, melalui proses pendidikan diharapkan manusia
menjadi cerdas atau memiliki kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skilldalam
menjalani kehidupannya.[6]
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1)
masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan
relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum
terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan
kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan
lebih khusus pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan
lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui
penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi
justru malah menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha
selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi
dan konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih dalam pengelolaan pendidikan Islam yang
merupakan salah satu segi penopang kehidupan yang urgen untuk membangun
peradaban dan menjadikan manusia yang lebih baik dan berkarakter serta penuh
dengan “keridhaan” Tuhan. Pengelolaan pendidikan Islam yang profesional dan
bermutu bukan merupakan hal yang mudah bagi seseorang atau lembaga pendidikan
di negeri ini.
Dunia pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh
dengan liku-liku permasalahan yang secara subtansial bisa dikatakan sebagai
cawah candradimuka pemeras waktu, tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia
yang paripurna. Oleh sebab itu, yang paling inti di dalamnya adalah pola
manajemen pengembangan kelembagaan dan kependidikan yang akan menjadi barometer
keberhasilan pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya.[7]
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan
Islam belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian mutu pendidikan Islam
di negeri ini, terutama di pulau Jawa, menunjukan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup signifikan dan menggembirakan, namun sebagian mutu pendidikan Islam
lainnya yang berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua serta daerah lainnya
masih memprihatinkan. Secara fungsional, pendidikan Islam pada dasarnya ditujukan
untuk memelihara dan mengembangkan manusia seutuhnya (insan kamil) yakni
manusia berkualitas sesuai dengan pandangan Islam.[8]
Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Islam untuk
melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil) dengan berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar juga wahyu)[9] merupakan suatu bentuk kemutlakan
pada ranah teoritis-normatif maupun aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan
Sunnah merupakan nilai normatif yang “harus” dijadikan sebagai kerangka yang
bermuara pada pandangan hidup, sikap hidup, dan tujuan hidup yang semuanya
harus bernapaskan Islam dan dijiwai oleh ajaran-ajaran yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah.
B. Rumusan
Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Problematika Manajemen Pendidikan Islam Dewasa Ini” penulis akan mengangkat permasalahan :
- Apa
saja problem manajemen pendidikan Islam dewasa ini dan bagaimana cara mengatasi
problem tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa
terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan
memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3)
masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan
ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus
pendidikan Islam, misalnya penggantian kurikulum nasional dan lokal dari
kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian
kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah
menambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya
dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kompetensi dan konvensasi
guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran,
pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu
manajemen sekolah.
Dari problem di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap manajemen
pendidikan yang ada pada saat ini, oleh karena itu dalam makalah ini membahas
tiga komponen besar yang menjadi problem manajemen pendidikan islam dewasa ini
antara lain: 1) Sumber Daya Manusia, 2) Pembiayaan, dan 3) Sarana/Prasarana dan
Teknologi.
A. Sumber
Daya Manusia
1. Terbatasnya Sumber Daya Manusia sebagai Problem
Manajemen Pendidikan Islam
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan
perannya sebagai makhluk
sosial yang adaptif dan
transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang
terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan
yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian
integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam
bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus mengambil penjurusan industri
dan organisasi.
Sebagai ilmu, SDM dipelajari dalam manajemen sumber daya manusia atau (MSDM). Dalam bidang ilmu ini, terjadi sintesa antara ilmu manajemen dan
psikologi. Mengingat struktur SDM dalam industri-organisasi dipelajari oleh
ilmu manajemen, sementara manusia-nya sebagai subyek pelaku adalah bidang
kajian ilmu psikologi.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya
belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi.
Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources),
yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset
utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan
(bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai
liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi
atau organisasi lebih mengemuka.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi
khalifah dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud
agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan
bumi serta melestarikannya.[10]
Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang,
dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian
sampai ke liang lahat.[11]
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM)
adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan
(energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu : (1) Ciri-ciri pribadi
berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu
hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Sementara Emil Salim menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta
manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya.
Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku
seseorang dalam mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik dalam kehidupan
pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dengan
demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan bahwa bila
kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa
bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial, nampaknya
pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju,
dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang
telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada
mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan
bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk
berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan
budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang
akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung
jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan
kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan
(kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga
kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama
(akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan
dalam Islam menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan pribadi khalifah bagi
anak didik yang memiliki fitrah, roh dan jasmani, kemauan yang bebas, dan
akal. Pembentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah tentu
menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk memenuhi tujuan
utama tersebut maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu
keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
strategi untuk menggapainya. Karena strategi merupakan alternatif dasar
yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa
alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang
diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan
dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang
jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi.
Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua
pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada
dan dapat digali. Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang
telah dipersempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah
prinsip dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem
pendidikan di dunia Islam. Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut,
memiliki ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah
strategi pendidikan itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi pendidikan
yang dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi
pendidikan yang bersifat makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro.[12]
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi
yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah
sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus
memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu
menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua
potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan
kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep
saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan
Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak
(sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu
aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama,
aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2). Kesemua aspek
ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu
jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu
ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri
manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya
adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil
contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek
ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk
mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan
terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan
Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas
2, yaitu tantangan dari luar (eksternal), yaitu berupa pertentangan
dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam (internal) Islam itu
sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman.[13]
Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang patut diwaspadai dalam
mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (perdagangan pasar
bebas). Perdagangan pasar bebas bukanlah gossip atau rumor yang
kehadirannya sudah jelas kita ketahui bersama kemarin ketika tahun baru dating
01 januari 2010 menjadi tanggal bersejarah beraninya bangsa ini membuka FTA (Free
Trade Area) Asena dengan China. Globalisasi adalah pendatang baru yang
sudah membeli tiket yang akan datang dan menetap di negeri ini dengan jangka
waktu yang sangat lama. Banyak sekali masalah yang kemudian kita hadapi dengan
globlisasi yang kini mnjedi momok menakutkan terhadap penumbuhan kualitas SDM
bangsa ini apalagi SDM bangsa ini sebenarnya belum siap menghadapi FTA ditambah
adanya kesan seperti sangat dipaksakan entah karena gengsi atau apalah namanya
bangsa ini ikut serta dalam menyetujui FTA Asean dengan China.
Faktor Internal
Kejumudan produktivitas keislaman yang pada kenyataan kali ini ummat islam
banyak terkotak – kotakan dalam nuansa keasyikan bermadzhab sampai ke
titik fanatis sehingga mnyalahkan madzhab yang lain yang nota
benenya masih sesame islam sehingga muncul banyakperdebatan – perdebatan sis –
sia yang hanya menyumbat tingkat peningkatan kualitas pendidikan sebagai
investasi pembentukn sumber daya manusia ummat islam sehingga menyumbat pula
tingkat produktivitas keislaman akibat kejumudan pemikiran serta taklid buta
terhadap fanatisme kemadzhaban.
Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan
dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan
diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modernIndonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern
adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang
ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa
modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum
dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan
ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan ada beberapa
ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
a. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta
berakhlak mulia dan berkepribadian
b. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan
bertanggung jawab
c. Mandiri, cerdas dan terampil
d. Sehat jasmani dan rohani
e. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan
rasa kesetiakawanan social
2. Upaya Untuk
Mengatasi Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, kita perlu melihat dari
banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang
faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia.
Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan
pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak
dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu.
Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan
proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu
(BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek
Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal
Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah
proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan
anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan
mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan.
Ada yang berpendapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang
mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.
Karena itu, kembali pada apa yang kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa
tidak sepenuhnya apa yang dapat dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa
seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua itu membutuhkan tahapan, namun
dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani oleh proyek yang demi kepentingan
sesaat atau golongan. Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu
pendidikan atau sumber daya manusia di Indonesia.
1) Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karenaitu Berikanlah
Penghargaan
“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk
menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran
organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik
(gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian,
tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Mc.
Keena & Beech (1995 : 161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan
(hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang
dan papan), kebutuhan rasa aman ( terhindar dari rasa takut akan gangguan
keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga
diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. Abraham H.
Maslow.
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak
meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang
besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan
ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
2) Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik
Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan berarti
jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme
guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan
pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah.
Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi
kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan.
Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat
karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan
jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak
diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru.
Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang
terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus
memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi
guru sebagai tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar
belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta mengajar). Setelah guru
memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan
kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak
yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa
lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
3) Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah
terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa
korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais
menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah,
dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala
dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan
menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru
mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana
yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang
sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari
korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah.
Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah
mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional
pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi
kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu
hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari
keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang
berpijak pada akar masalah.
4) Berikan Sarana dan
Prasarana Yang Layak
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk
mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa
mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin
tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana
pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal
(SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan
pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap,
peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio
1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan
ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat”
atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas
pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap
satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan
pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat
kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di
Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta
favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada
sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat.
Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU
Sisdiknas No. 20/2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan
pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan
mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat
(3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu pendidikan Indonesia terus meningkat dan
terjadi perkembangan pada perbaikan yang terus menerus.
B. Pembiayaan
1. Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan sebagai Problem Manajemen Pendidikan
Islam
Dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah dapat dikatakan
bahwa masalah pembiayaan menjadi masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan oleh
para pengelola pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan menyangkut
masalah tenaga pendidik, proses pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan
aspek lain yang terkait dengan masalah keuangan. Fungsi pembiayaan tidak mungkin
dipisahkan dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pembiayaan menjadi masalah sentral dalam pengelolaan kegiatan
pendidikan. Ketidakmampuan
suatu lembaga untuk menyediakan biaya, akan menghambat proses belajar mengajar.
Hambatan pada proses belajar mengajar dengan sendirinya menghilangkan
kepercayaan masyarakat pada suatu lembaga. Namun bukan berarti bahwa apabila
tersedia biaya yang berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan sekolah akan
lebih baik.
Dalam memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia, kita perlu
memahami permasalahan apa saja yang timbul serta alternatif penyelesaiannya. Pemahaman
tentang pembahasan ini juga akan membawa kita pada bagaimana praktik
pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta permasalahan-permasalahan yang timbul
dalam pelaksaaannya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan
biaya tidak langsung (Inderect Cost). Biaya langsung terdiri dari
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan
kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar,
biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua,
maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan
yang hilang (oportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar[14].
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama
lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Untuk sekolah dasar negeri, umumnya memiliki
sumber-sumber anggaran penerimaan, yang terdiri dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid, dan sumber lain.
Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach),
pengeluaran sekolah dapat dikaegorikan ke dalam beberapa item pengeluaran,
yaitu :
1. Pengeluaran
untuk pelaksanaan pelajaran
2. Pengeluaran
untuk tata usaha sekolah,
3. Pemeliharaan
sarana dan prasarana sekolah,
4. Kesejahteraan
pegawai,
5. Administrasi,
6. Pembinaan
teknis educative, dan
2. Upaya Untuk
Mengatasi Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan dalam Lembaga Pendidikan Islam
1) Pembiayaan
Pendidikan
Permasalahan
pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah
pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki
jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan
bermutu membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian
masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak
pasti.
Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat
ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu.
Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam
menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah tak lepas tangan
membiayai pendidikan. Untuk bidang pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah
telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk
BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku yang masih
minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya
dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan
meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa
dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah
antara usia 7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa
drop out dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis
sejak 2005.
Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pembiayaan
pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak
membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam
UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah membiayai
pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu melihat ketidaktaatan
Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak
usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul
pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik
pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa. UU No 20/2003 Pasal 34 (2)
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun menggariskan agar Pemerintah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar
tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik
terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar
20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No
18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8 %
bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh
berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK
yang memutuskan UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi anggaran
pendidikan 9,1 % bertentangan dengan UUD 1945[16].
Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya
menempuh jenjang pendidikan di negeri ini. Ketika disinggung tentang
anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan
UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki
anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga
harus diperhatikan disamping terus mengupayakan secara bertahap anggaran
pendidikan menuju 20 %.
Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik
ini, tampaknya terjadi ketidakefektifan di samping mentalitas korupsi yang
masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius
lagi pembiayaan pendidikan di Indonesia. Anggaran negara seyogianya dikelola
lebih hemat dan efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan
terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Disadari atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu menyimpan
harapan besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui,
Pasal 31 (2) merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001
dan Pasal 31 (4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada
tanggal 10 Agustus 2002. Rumusan UUD 1945 hasil amandemen itu secara implisit
mengajak Pemerintah untuk memperhatikan pembangunan sektor pendidikan. Siapa
pun tentu sepakat bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan
mengingat salah satu fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait dengan pembiayaan pendidikan, kita selalu mengharapkan komitmen
Pemerintah agar tidak berlepas tangan. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan
harus dimiliki para penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan
pembangunan manusia melalui usaha pendidikan. Hasil pendidikan yang tidak bisa
dinikmati seketika mungkin memberatkan para penyelenggara negara yang bermental
pragmatis alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu diingat,
pendidikan merupakan aspek fundamental meningkatkan kualitas individu-individu
manusia. Melalui pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki
kemampuan dan daya adaptabilitas terhadap perkembangan zaman. Bangsa yang ingin
maju tentu saja tidak bisa mengabaikan pendidikan anak bangsanya.
Biaya pendidikan memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya
sendiri mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen
publik dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga
negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di
garda depan menyelamatkan pendidikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan
negara, orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.
Namun, ketika negara sudah dibelenggu oleh empasan gelombang modal, sistem
pendidikan pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini
pada gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan,
mematikan demokrasi dan menghancurkan solidaritas di antara rakyat negeri!
Mengapa sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar-instansi
ini, yaitu antara lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan
corak relasional di antara dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai
pada rakyat miskin, menggerogoti demokrasi, dan melukai keadilan.
Sekolah kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan
lembaga pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta
masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara
untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu,
membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan
satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga
pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah
penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!
Kedua, kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada
masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika
pemerintah lebih suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang "gemar
mengeruk kekayaan, melupakan semua, kecuali dirinya sendiri," setiap
kewenangan yang semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang
penjarahan kekayaan. Pejabat pemerintah dan swasta (kalau ada kesempatan!) akan
berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.
Ketiga, mental pejabat negara, juga swasta, terutama karena tuntutan persaingan
di pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar
Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap
kultur pendidikan kita. "Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan,
kita akan menggunungkan uang." Itulah isi pesan dalam brosur mereka
Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya
pendidikan jika kebijakan politik pendidikan yang berlaku memiliki semangat
melindungi rakyat miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika
semangat "mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri
sendiri" masih ada seperti sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat
miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah
krisis solidaritas, mandeknya demokrasi, dan terpuruknya keadilan sosial.
2) Pendidikan
Gratis
Impian
masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari
sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring
datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu,
pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk
menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini-itu,
gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya
semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya
tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba
gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati,
toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar
generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian
dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus
mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar
setiap orangtua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai
pendidikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan
gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan
diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir
soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan
pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya,
maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya
operasional sekolah, apalagi menyejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti
listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan,
dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih
bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari
peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan,
penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinrerja guru dalam
kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja
yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega
dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun
2011 ini pemerintah telah memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi
APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk
menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat
rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya
berpendapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk
pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan
pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan
harian dan ujian, serta biaya perawatan operasional sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya
besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembelian seragam bagi
siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta
pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya
tidak ditanggung biaya BOS. Dan pemungutan biaya tersebut juga akan tergantung
dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus
mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak memberatkan para siswa
dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang
masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib
untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses
belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk
mensejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah
baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program
bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah
harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orangtuanya, namun juga para
guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah
dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah
sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan
pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasikan kepada
kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang
melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi
orangtua.
Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam
proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika
konsentrasinya harus terbagi memikirkan dana sekolahnya yang belum terlunasi
orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu
orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh
diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau
sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan
peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan segera
didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa
pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha menyejahterahkan masyarakatnya.
Sebaliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah
satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan
cinta dari rakyatnya.
3) Konsekuensi
Pendidikan Gratis
Pendidikan
gratis seperti kita ketahui bersama, mungkin saja dapat dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan, namun tentunya dengan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu
anggaran pemerintah daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk membiayai
operasional pendidikan di daerah tersebut, sehingga anggaran untuk peningkatan
mutu pendidikan yang menyangkut perbaikan/peningkatan sarana-prasarana tentulah
harus dikalahkan. Konsekuensi lainnya pendidikan gratis untuk semua dapat
dilakukan, namun dengan mutu yang sangat minim atau dengan kualitas yang
seadanya. Sebab, seluruh anggaran telah terkuras untuk operasional sekolah
saja.
Di samping itu dengan terkonsentrasinya dana pendidikan untuk pendidikan
gratis maka kesejahteraan dan peningkatan kualitas SDM pendidik akan
dikesampingkan, dan menempati urutan berikutnya. Apabila ini telah terjadi maka
akan sia-sia saja memberikan pendidikan gratis tetapi output-nya atau
lulusannya tidak bermutu.
Yang patut dan harus diprogramkan adalah memberikan pendidikan gratis bagi
anak didik tertentu saja, yaitu yang memiliki kemampuan tinggi dan prestasi
yang bagus (pintar), dan bagi yang kehidupan perekonomian orangtuanya di bawah
rata-rata (miskin), atau pun bagi anak-anak yatim piatu. Anak-anak yang
tergolong seperti itulah yang patut dan wajib mendapatkan pendidikan gratis
dari pemerintah.
Kata gratis sering menjebak kita dan memberikan harapan besar kepada
masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya,
pendidikan yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan
bagi yang tidak mampu. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena
kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan.
Kata gratis memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu.
Padahal, fakta di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.
Penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat.
Kata gratis membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat
masyarakat kian bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa
pungutan tambahan, seperti sekarang ini gratis.
Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya,
pemerintah menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para
penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi
silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.
Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat
dan terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja.
4) Permasalahan
Pembiayaan Pendidikan Di Tingkat Mikro
Hal paling
krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pembiayaan/keuangan,
karena seluruh komponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen
pembiayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya
berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan berkaitan
dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang
tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah
keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana
pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan
yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa
memerlukan dana yang cukup banyak.
Terkait dengan
efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada
sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas
pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya
dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi
penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada
pemborosan.
Menurut Bobbit yang kami kutip dari sumber internet (1992),
sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara
efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana
yang cukup besar. Suatu contoh efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Jembrana-Bali.
Kabupaten Jembrana sejak tahun 2001 yang mampu memberikan pendidikan gratis 12
tahun bagi warga asli daerah tersebut. “Pemerataan pendidikan, manajemen
pendidikan yang efektif, dan peningkatan partisipasi masyarakat merupakan
pijakan dalam memuluskan program pendidikan di Jembrana”.
Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep
pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan
bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pembiayaan yang relatif kecil dan
terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber
baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai
secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada
kebutuhan yang beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan dengan
berpedoman kepada peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk
mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti memperbaiki pagar
sekolah atau memperbaiki sarana olah raga. Tetapi pengaruhnya terhadap
peningkatan mutu proses belajar mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan
alat peraga atau laboratorium, maka keputusan yang paling efisien adalah
mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di
dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada
faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa. 9
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa.
Dalam merancang dan menyususn Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas
pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan
merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi,
artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi
tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional
dan dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini
Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran
pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat
dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses
pembelajaran yang bermutu[17].
5) Penganggaran
Penganggaran
merupakan kegiatan atau proses penyusunan anggaran (Budget). Budget
merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk
satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
lembaga dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam anggaran tergambar
kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga.
Penyusunan anggaran merupakan langkah-langkah positif untuk merealisasikan
rencana yang telah disusun. Kegiatan ini melibatkan pimpinan tiap-tiap unit
organisasi. Pada dasarnya, penyusunan anggaran merupkan negosiasi atau
perundingan/kesepakatan antara puncak pimpinan dengan pimpinan dibawahnya dalam
menentukan besarnya alokasi biaya suatu penganggaran. Hasil akhir dari suatu
negosiasi merupakan suatu pernyataan tentang pengeluaran dan pendapatan yang
diharapkan dari setiap sumber dana[18].
- Fungsi
Anggaran
Apabila melihat perkembangannya, anggaran mempunyai manfaat yang dapat
digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu :
a. Sebagai alat
penaksir
b. Sebagai alat
otorisasi pengeluaran dana, dan
c. Sebagai alat
efisiensi
- Tahap
penyusunan anggaran
Tahap penyusunan anggaran adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama periode anggaran.
b. Mengidentifikasi
sumber-sumber yang dinyatakan dalam uang, jasa, dan barang.
c. Semua sumber
dinyatakan dalam bentuk uang sebab anggaran pada dasarnya merupakan pernyataan
finansial.
d. Memformulasikan
anggaran dalam bentuk format yang telah disetujui dan dipergunakan oleh
instansi tertentu.
e. Menyusun
usulan anggaran untuk memperoleh persetujuan dari pihak yang berwenang.
f. Melakukan
revisi usulan anggaran
g. Persetujuan
revisi usulan anggaran.
C. Sarana/Prasarana dan Teknologi
1. Sarana/Prasarana dan Teknologi yang tidak memadai sebagai Problem
dalam Manajemen Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku/pembentukan
pribadi yang terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha mendewasakan
peserta didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan, pendidikan sebagai
kegiatan pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara
yang berjiwa patriotik, serta pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja,
menjadikan pendidikan harus mendapatkan perhatian besar. Salah satu hal yang
perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana dan prasarana ppendidikan
itu sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan ini merupakan salah satu
faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses
pembelajaran.
Mutu sarana dan prasarana masih
sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat dilingkungan kita dimana masih
banyak sekolah-sekolah yang keadaan gedungnya tidak aman dan kurang memadai untuk
digunakan melaksanakan proses belajar mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh).
Sering juga dijumpai bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau
dinas pendidikan; letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lancarnya proses
pendidikan misalnya letak sekolah berada di tempat yang ramai, terpencil,
kumuh, dan lain-lain; perabotan berkenaan dengan sarana yang kurang memadai
bagi pelaksanaan proses pendidikan misalnya meja/kursi yang kurang layak
digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku paket yang kurang memadai,
dan lain-lain.
1) Fasilitas
Yang Minim
Volume
sarana dan prasarana yang minim masih mejadi permasalahan utama disetiap
sekolah di Indonesia. Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan.
Kasus seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta
didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan
fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan
di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Selain itu
masih banyak fasilitas yang belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Hal
seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan
minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas
tersebut, para pelajar mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang
negatif.
2) Alokasi dana
yang terhambat
Banyaknya
kasus penyalahgunaan dana adminitrasi sekolah, membuat sarana dan
prasarana sekolah tidak terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang
dalam adminitrasi membuat pendidikan semakin tidak cepat mencapai titik
kebehasilan.
3) Perawatan
yang Buruk
Ketidak
pedulian dari sekolah terhadap perawatan fasilitas yang ada menjadikan buruknya
sarana dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya pengawasan dari
pemerintah, membuat banyak fasilitas sekolah yang terbengkalai. Ketidaknyamanan
menggunakan fasilitas yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak, membuat para
pelajar enggan menggunakannya. Kasus seperti ini biasanya terjadi karena tidak
adanya kesadaran dari setiap guru, siswa, dan pengurus sekolah.
Dari ketiga
point di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana
pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan sarana dan
prasana akan menghambat proses pembelajaran, yang akibatnya berpengaruh pada
ketercapaian dari tujuan pendidikan.
Dengan
keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga
pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri.
Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan
kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar
pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya
ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:
a. Rendahnya
Mutu Output Pendidikan
Kurangnya
sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri,
sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang
membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing
dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya
belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar
dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya. Ironisnya
pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas
pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang
pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis
teknologi ini. Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung
dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi
permainan politik disaat pemilu saja.
b. Kenakalan Remaja
dan Perilaku yang Menyimpang
Secara
psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana
didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang
sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi
maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan
dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya
laboratorium, perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga
sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada
generasi sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam
pengembangaan kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola, basket,
otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan
cenderung membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma. Di
indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki
sarana penyaluran emosi ini.
2. Upaya Untuk
Mengatasi Kurang Memadainya Sarana/Prasarana Dan Teknologi Pendidikan
Ada beberapa hal yang dapat kita
lakukan dalam memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antara lain:
ü Terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun sehingga tidak terputusnya
komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
ü Dengan adanya koordinasi pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah maka selanjutnya kita dapat meningkatkan Sarana
dan Prasarana Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang
digunakan dalam rangka meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus
menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan
sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi
sarana fisik dan non fisik.
Sarana fisik
Pemenuhan
sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium,
perpustakaan, sarana-sarana olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas
pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab
yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam
memajukan pembangunan nasiaonal. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi
tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sarana non fisik
Sarana non
fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika software ini dapat
mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai.
Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan
mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Peningkatan
kualitas guru
Kualitas
guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru
adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya
berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan
mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis
guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi
perkembangan dan sebagainya.Dengan adanya peningkatan ini tentunnya akan
berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan
dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya
terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik
kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
b. Pembentukan
lembaga studi mandiri
Pembentukan
lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian
siswa.Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunnya akan memperbaiki kualitas
fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulam
Ada tiga hal pokok yang menjadi problem Manajemen Pendidikan Islam yang
dihadapi dewasa ini. Ketiga hal tersebut sangat berkaitan antara satu dengan
yang lainnya, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia, 2. Pembiayaan, dan 3.
Sarana/Prasarana dan Teknologi.
Dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) tidak akan
bisa tercapai dengan baik tanpa didukung oleh biaya dan sarana/prasarana dan
teknologi yang memadai.
Kaitannya dengan pembiayaan, tidak akan
terkelola dengan baik tanpa didukung oleh SDM yang handal kemudian difasilitasi
dengan sarana/prasarana dan teknologi yang modern.
Begitupula dengan pengadaan dan penggunaan
sarana/prasarana dan teknologi harus dibekali dengan SDM dan biaya cukup
memadai agar bisa terkelola dengan baik pula.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuhkan guna perbaikan makalah berikutnya. Dan semoga makalah ini berguna untuk kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an : 29 - 32
Aassegaf,
Abd. Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru
Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Achmadi.
2010. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bastian,Aulia
Reza. 2002. Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan
Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan
Indonesia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Farodis,
Zian. 2011. Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard
University.Yogyakarta: Diva Press.
Fattah,
Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
kaka22mln.blogspot.com/2011/02/pendidikan-gratis.html
Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa Pemikiran
Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif.
Makawimbang,
H. Jerry. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung:
CV Alfabeta.
Muriah,
Siti. 2011. Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi
Teoritis dan Praktis. Malang & Yogyakarta: Aditya Media
Publishing.
Nanang
Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung,
cet ke-1, 2000.
Nata,
Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Partanto,
Pius dan Dahlan Albari. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya:
Arloka.
Shaleh,A.R. (2000). Pendidikan Agama dan
Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta:Gemawindu Pancaperkasa.
Subroto, B.
2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Sukarno.
2012. Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik.Yogyakarta:
Interpena.
Zamroni.
2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam
Utama. Malang: UMM Press.
[2]
Zian Farodis, Panduan
Manajemen Pendidikan ala Harvard University, (Yogyakarta: Diva Press,
2011), hlm. 7
[3]
Aulia Reza
Bastian, Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan
Pemberdayaan Pendidikan Dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia,
(Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2002) hlm. 24
[4]
Sukarno, Budaya
Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik, (Yogyakarta:
Interpena, 2012), hlm. 15
[6]
Jerry H. Makawimbang, Supervisi
dan Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta,
2011), hlm. 1
[7]
Siti Muriah, Kata
Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis,
(Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2012)
[8]
Achmadi, Ideologi
Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), cet. II, hlm. 32
[9]
Abd. Rachman
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2011), hlm. 2. Lihat juga dalam Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 36. Juga dalam Tobrani, Pendidikan
Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, (Malang: UMM Press,
2008), hlm. 19. Salah satu contoh ayat tentang manajemen adalah bentuk kata
derivasi dari dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam
al-Qur’an yang pengertian sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan),
yaitu dalam surat as-Sajdah ayat 5 yang mendeskripsikan tentang :
ãÎn/yã tøBF{$# ÆÏB Ïä!$yJ¡¡9$# n<Î) ÇÚöF{$# ¢OèO ßlã÷èt Ïmøs9Î) Îû 5Qöqt tb%x. ÿ¼çnâ#yø)ÏB y#ø9r& 7puZy $£JÏiB tbrãès? ÇÎÈ
Artinya “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu” (QS. As-Sajdah : 5)
[12]
Skripsi Strategi Pendidikan
Islam Dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia [Studi atas
Pemikiran Hasan Langgulung] Oleh : Syukri Rifa’I Mahasiswa S2 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
[13]
Hasan Langgulung, Beberapa
Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Ma.arif,1995), h. 67
[14] Nanang
Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung,
cet ke-1, 2000, hal.23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar