BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman
pra sejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa
kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi
yang dijual disana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan
penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal
dari Maluku dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual kepada para
pedagang asing. Pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad
ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi para pedagang asing seperti Lamuri (Aceh),
Barus, dan Palembang di Sumatra; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Bersamaan
dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah. Mereka
tidak hanya membeli dan menjajakan barang dagangan, tetapi ada juga yang
berupaya menyebarkan agama Islam. Dengan demikian, agama Islam telah ada di
Indonesia ini bersamaan dengan kehadiran para pedagang Arab tersebut. Meskipun
belum tersebar secara intensif ke seluruh wilayah Indonesia.
Pengaruh adanya perdagangan lintas
negara tersebut sangat mempengaruhi pola
pikir masyarakat nusantara mulai dari pendidikan, pola hidup dan adat istiadat.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Awal Masuknya Islam di Nusantara?
2.
Bagaimana Sistem Kebijakan Pendidikan Awal Masuknya Islam di Nusantara?
BAB II
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA DAN SISTEM KEBIAJAKAN PENDIDIKAN
AWAL MASUKNYA ISLAM
DI NUSANTARA
A.
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA
1. Penyebaran Islam di Indonesia
Berbagai teori perihal
masuknya Islam ke Indonesia terus muncul sampai saat ini.Fokus diskusi mengenai
kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga temautama, yakni
tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Mengenai
tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan
parasejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara
mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India.
Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para
pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. [1] Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di
Indonesia langsung dari Timur Tengah
melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga,
teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia
yang dalam perjalanannyas inggah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad
ke-13 M, Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad
ke-17 M, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onindi
Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Jikalau Ahli Sejarah
Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Hamka berpendapat
bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan
kelompok bangsa Arab yang telah bermukimdi pantai Barat Sumatra (Barus).
Pada saat nanti wilayah
Barus ini akan masuk kewilayah kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 674 M, semasa
pemerintahan Khilafah Islam Utsman bi Affan, memerintahkan mengirimkan utusannya
(Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya
Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima putra ratu Sima
dari Kalingga masuk Islam. Pada tahun 718 M, Raja Srivijaya Sri Indravarman
setelah kerusuhan Kanton juga masuk Islam pada masa kholifah Umar binAbdul Aziz
(Dinasti Umayyah).[2][2]
Masuknya Islam ke
Indonesia menurut ahli sejarawan mempunyai tiga teori dan di dukung dengan
bukti tentang munculnya metode tersebut. Berikut bukti tiga metode itu tersebut
sebagai bukti bahwa islam sudah masuk ke Indonesia.
1.
Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia
pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari
teori ini adalah: Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam di Indonesia. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah
lama melalui jalur Indonesia –Cambay – Timur Tengah – Eropa. Adanya batu nisan
Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas
Gujarat. Batu nisan makam Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, bertahun 1419 M;
batu nisan tersebut diduga diimpor dari Cambay, Gujarat, India.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu
adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo
dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.[3]
2.
Teori Makkah
Teori Makkah, Islam
yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan
dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah
pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan
mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji
Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab
yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab
Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain
itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang
Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang.
Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara
saat itu[4]
Teori ini merupakan teori baru yang
muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya
berasal dari Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah: Pada abad ke 7 yaitu tahun
674 M, di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab),
dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton
sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina. Kerajaan Samudra Pasai
menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu
itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab
Hanafi. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar
tersebut berasal dari Mesir dan Arab.
Pendukung teori Makkah ini adalah
Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan
bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.[5]
3. Teori Persia
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan
budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura
atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung
oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut
dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan
bubur Syuro. Dasar Teori Persia Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia abad 13 M, dan pembawanya berasal dari Persia (Iran).
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut
Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam
sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik
Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di
Giri daerah Gresik. P.A. Hussein Jayadiningrat. salah satu Pendukung teori ini
yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat. [6]
Ketiga teori tersebut,
pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu
berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia
dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13.
Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa
Persia dan Gujarat (India).
b.
Masa kolonial
Pada abad ke-17 M, atau tahun 1601 kerajaan Hindia
Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan
selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan
kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya
kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaanIslam di Nusantara belum sempat
membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yangmenyebabkan proses penyebaran
dakwah terpotong.
Dengan sumuliayatul
(kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan
tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulamasaat itu.
Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi
markasperjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah
(pasukan Allah) yangsiap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima
perang. Potensi-potensitumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan
perlawanan terhadap penjajah.Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat
pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para
ulama menggelorakan jihad melawan penjajahBelanda. Belanda mengalami kewalahan
yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
1. Politik devide et
impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan
ulama dengan adat, contohnya perang Padridi Sumatera Barat dan perang
Diponegoro di Jawa.
2. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang
Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang
orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah. Dia berpendapat agar
pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh
(khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan
tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan
terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah
terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Di akhir abad ke-19,
muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan
Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar diKairo, Mesir banyak
berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad
Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu
pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah
(1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906,
Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima
tahun kemudian,di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[7]
B. Sistem Kebijakan Pendidikan Awal Masuknya Islam di
Indonesia
Campur tangan atau pengaruh
pemerintah/penguasa terhadap pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan
yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga negara. Namun di zaman
penjajahan, kebijakan-kebijakan pendidikannya tentu disesuaikan/diarahkan pula
dengan niat politik yang mereka lakukan, seperti politik “pecah belah” (devide
et impera atau devided and imperial), politik etis, Hakko Ichiu
(Jepang), dan sebagainya. Tetapi di zaman kemerdekaan, pendidikan kita mulai
dibangkitkan kembali melalui pendidikan yang bersifat patriotisme, kesadaran
nasional sampai dengan pendidikan nasional Pancasila.[8]
Pendidikan sebagai suatu sistem
tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik. Antara politik dan pendidikan Islam
terjalin hubungan yang erat. Berubah-ubahnya kebijakan politik dapat
mempengaruhi pelaksanaan pendidikan Islam diantaranya madrasah. Oleh karena
itu, agar para penguasa untuk berhati-hati dalam kebijakan politiknya yang akan
berakibat pada berubahnya pelaksanaan pendidikan. Hal ini terjadi pada zaman
Dinasti Abbasiyah yang mengalami masa kejayaan pendidikan Islam dikarenakan
kebijakan politik. Dan pendidikan Islam mengalami kemunduran disebabkan oleh
kebijakan politik. Dengan demikian kebijakan politik dan pendidikan tidak dapat
dipisahkan.
Sebagai contoh, kebijakan
kolonialisme Belanda dalam pendidikan diikutsertakan dengan politik
pecah-belanya dan politik etis (balas budi). Pada zaman Belanda, pendidikan
hanya didapatkan oleh anak-anak pejabat seperti gubernur, bupati, dan lurah.
Sedangkan anak pribumi sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan selalu
dicurigai. Namun, ada sebagian dari orang Belanda untuk melakukan politik balas
budi kepada rakyat pribumi dikarenakan mereka banyak memperoleh kekayaan negeri
yang dijajahnya. Dengan politik ini, rakyat pribumi dari golongan bawah mulai
mendapatkan pendidikan.
Kebijakan politik pendidikan juga
terjadi di Indonesia yang dimulai dari zaman Hindu Budha serta kerajaan Islam,
zaman kolonialisme (Belanda, Portugis, Inggris, dan sebagainya), Jepang, zaman
kemerdekaan (orde lama dan orde baru), sampai zaman reformasi (hingga
sekarang). Melihat alur yang cukup panjang mengenai kondisi pendidikan
Indonesia, mengindikasikan berubah-ubahnya kebijakan dalam hal pendidikan.
kebijakan-kebijakan politik dalam dunia pendidikan akan dibahasan dalam makalah
ini.
B. Sistem Kebijakan Pendidikan Awal Masuknya Islam di Indonesia : Zaman Belanda, Kemerdekaan dan Reformasi
1.
Zaman
Belanda
a. Zaman VOC
(Verenigde Oost-Indische Compagnie)
Orang Belanda datang ke Indonesia
bukan untuk menjajah melainkan berdagang. Mereka termotivasi oleh hasrat untuk
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarung lautan
yang berbahaya untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang itu
merasa perlunya tempat permanen di daratan untuk menjadi tempat berlabuhnya
kapal. Kantor dagang itu kemudian di diperkuat dan dipersenjatai dan menjadi
benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah sekitarnya.[9]
Akhirnya dengan peperangan dengan intensitas yang tinggi, Indonesia jatuh di
bawah pemerintahan Belanda.
Kebijakan pendidikan VOC adalah
melanjutkan kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang Portugis, terutama
berdasarkan agama Kristen Protestan. Meskipun pada abad ke-17 dan 18 di negeri
Belanda khususnya dan di Eropa umumnya, pengaruh gereja terhadap pendidikan
sangat memegang peranan, tetapi di Indonesia VOC lebih berkuasa daripada
gereja, walaupun kegiatan utama mereka adalah berdagang rempah-rempah. Dengan
demikianlah dapatlah dibayangkan bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan VOC,
tentu saja berdasarkan prinsip komersial atau bisnis atau
perhitungan-perhitungan untung dan rugi dan hukum-hukum ekonomi/perdagangan.
Selanjutnya pada Tahun 1617 didirikan sekolah yang di Batavia (Jakarta)
bersifat pendidikan dasar yang bertujuan untuk memberikan pendidikan budi
pekerti bercorak agama adapun sifat dari pendidikan pada waktu itu dimaksudkan
sebagai pengisian tenaga kerja terutama keluarga VOC, dimaksudkan sebagai
tangan-tangan VOC di dalam melakukan pemerintahannya.
Hal senada diungkapkan oleh DR.
Kartini Kartono, dia mengemukakan bahwa pengajaran di masa colonial tidak
bertujuan membangun angkatan muda yang bersedia mengabdikan diri pada tanah air
sendiri, tetapi bertujuan :
1) Menanamkan
nilai-nilai masyarakat penjajah.
2) Memupuk
kesediaan orang-orang muda pribumi untuk dinas menjadi pegawai pemerintah dan
serdadu kolonial.[10]
Menurut
H.A.R. Tilaar, bahwa pendidikan bagi orang-orang pribumi yang beragama Islam tidak
menjadi soal, karena kelanjutan sistem-sistem langgar, pesantren dan madrasah
berjalan terus. Memang apabila kita berbicara mengenai pendidikan Islam maka
kita akan membicarakan mengenai pesantren dan madrasah. Sebenarnya pemikiran
tentang pendidikan tak pernah dilakukan oleh penguasa VOC, secara serius,
tetapi baru setelah keadaan komersial dan finansial perusahaannya menurun pada
akhir abad ke-18, tokoh-tokoh VOC mulai memperhatikan bidang pendidikan di
daerah kekuasaannya. Pada umumnya guru-gurunya adalah warga negara Kristen yang
harus mendapat lisensi dan penguasa kompeni agar kebijakan VOC tak terlanggar,
sekolah yang berkembang pada waktu itu adalah sekolah dasar, sekolah latin,
seminarium theologicum, sekolah Cina dan akademi pelayaran.[11]
Pendidikan
pesantren memang sudah ada sebelum VOC menjajah Indonesia. Pendidikan ini terus
berkembang hingga sekarang. Intinya kebijakan pemerintah VOC terhadap
pendidikan di negeri jajahannya harus berdasarkan hukum ekonomi atau finansial.
Sekolah didirikan untuk kepentingan keluarga dan finansial mereka. Guru-guru
yang mengajar di sekolah VOC harus mendapatkan lisensi dari mereka agar
kebijakan-kebijakan mereka tetap berlaku di negeri jajahan tentunya kekayaan
negeri kita tetap mereka dapatkan untuk memajukan perusahaan mereka.
Dengan
demikian, kebijakan pendidikan pada zaman VOC lebih kepada segi komersial
dengan artian menguntungkan pihak VOC itu sendiri. Mereka mendidik anak-anak
VOC untuk melanjutkan hegemoni di tanah jajahan dan rakyat pribumi disekolahkan
untuk membantu kemajuan perusahaan di bawah naungan VOC.
b.
Zaman
Pemerintahan Hindia Belanda
Kemunduran
perusahaan VOC pada akhir abad ke-18 menyebabkan VOC tidak sanggup dan dapat
berfungsi lagi sehingga menyerahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan
dengan peristiwa tersebut terjadi pulalah perubahan pandangan prinsip
pendidikan. prinsip-prinsip pendidikan mereka sebagai berikut :
1) Pemerintah
kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2) Pendidikan diarahkan agar para
tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.
3) Sistem
persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
4) Pendidikan
diarahkan untuk golongan elite social (penjilat penjajah) Belanda.
5) Dasar
pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan
dan kebudayaan Barat.[12]
Kedatangan
bangsa Barat di satu pihak memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi
kemajuan teknologi tersebut bukan dinikmati penduduk pribumi, tujuannya
hanyalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pula halnya dengan
pendidikan, mereka telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru yang lebih
efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga
yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah
sekali dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga-tenaga dari
Barat.
Dalam
kenyataannya Belanda sebagai penjajah benar-benar menggeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam dan sebagainya. Sementara
di lain pihak diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu
Belanda sebagai penjajah lain, seperti Inggris misalnya. Inggris dapat
memajukan negeri jajahannya seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, sedangkan
Belanda tidak mampu.
Apa yang
mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westenisasi dan kristenisasi
yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai
kebijaksanaan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama 3,5 abad.
Bagi rakyat Indonesia memandang orang Barat tersebut melainkan sebagai penjajah
dan penakluk, kaum imperalis, tidak peduli mereka Katolik atau Nasrani. Dalam
dada penjajah kuatnya ajaran dari politikus dan licik Machiavelli, yang
antara lain :
1) Agama sangat
diperlukan bagi pemerintah penjajah.
2) Agama
tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukkan rakyat.
3) Setiap aliran agama yang dianggap
palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecah belah dan
agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.
4) Janji dengan
rakyat tak perlu ditetapi jika merugikan.
Kebijakan
Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini
terlihat, ketika Van Den Bosch menjadi Gubernur Jenderal Jakarta pada
tahun 1831, keluarlah kebijakan sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan
sebagai sekolah pemerintah, sedangkan departemen yang mengurus pendidikan dan
keagamaan dijadikan satu, sementara di setiap keresidenan didirikan satu
sekolah agama Kristen.
Inisiatif
untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi
adalah ketika Van Den Capellen menjaga Gubernur Jenderal Jakarta. Dari
dalam surat edarannya adalah menggambarkan tujuan dari didirikannya Sekolah
Dasar pada zaman itu. Politik yang dijalankan pemerintah Belanda terhadap
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasari oleh rasa
ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan kolonialisme. Sehingga
dengan begitu mereka menerapkan berbagai peraturan dan kebijakan, di antaranya
:
1) Pada tahun
1882, pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk
mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden.
Dari badan ini inilah pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan
baru yang isinya bahwa orang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam
harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.
2) Tahun 1925
keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam yaitu
bahwa tidak semua orang (kiai) boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali
telah mendapatkan semacam rekomendasi atau persetujuan pemerintah Belanda.
3) Kemudian
pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk
memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oelh pemerintah Belanda yang disebut
Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).[14]
Selain itu
pemerintah Belanda menerapkan kebijakan yang disaran oleh Snouck Hurgronje
yaitu :
1) Menyarankan
kepada pemerintah colonial Belanda agar netral terhadap agama yakni tidak ikut
campur tangan dan tidak memihak kepada salah satu agama yang ada, menurutnya
fanatisme dalam Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses
pendidikan secara evolusi.
2) Pemerintah Belanda diharapkan dapat
membendung masuk Pan Islamisme yang sedang berkembang di Timur Tenggah,
dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau brosur lain dari luar ke
wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh
Islam dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi
ke Mekkah, dan bahkan kalau memungkinkan melarangnya. Karena dikhawatirkan
pengalaman yang didapatkan di luar akan dibawa ke Indonesia dan mempengaruhi
kelanggengan kekuasaan kolonial.[15]
Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan pendidikan Islam pada zaman Belanda bertujuan
untuk meningkatkan hasil jajahannya, memasukkan budaya-budaya Barat ke
Indonesia, dan misi kristenisasi. Walaupun kebijakan-kebijakan Belanda yang
sangat ketat dimulai dari pengawasan, tekanan, menghancurkan madrasah dan
pesantren untuk melumpuhkan pendidikan Islam di Indonesia. Namun keadaan
tersebut berbalik arah dari tujuannya. Bahkan dengan kebijakan-kebijakan yang
ketat dapat membangkitkan rasa ingin merdeka dan mengusir penjajah dari tanah
jajahannya seperti bersikap non-kooperatif dengan Belanda dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Campur tangan pemerintah terhadap
pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan untuk meratakan pendidikan ke
seluruh masyarakat. Pendidikan dan pemerintah dapat diistilahkan dengan sebuah
sistem yang bias lepas dari pemerintah. Jangan sampai kebijakan-kebijakan pada
zaman kolonial Belanda dan Jepang dalam bidang pendidikan masih dijalankan oleh
pemerintah kita.
Untuk itu, diharapkan kepada
pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan dengan
arif dan bijaksana demi tercapainya tujuan pendidikan yang niatkan oleh
pemerintah dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Hawi, Akmal.
2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang. Rafah Press.
Nasution, S.
2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Tilaar,
H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.
Zuhairini.
2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Niswah,
Choirun. 2010. Sejarah Pendidikan Islam (Timur Tengah dan Indonesia). Palembang.
Rafah Press.
Mustafa,
H.A. dan Abdul Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung.
Pustaka Setia.
Sunanto,
Musyrifah. 2010. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta. Raja
Grafindo Persada.
Arifin, M.
2000. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta. Bumi Aksara.
Undang-undang
Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional). 2011. Jakarta. Sinar Grafika.
2.
Zaman
Kemerdekaan
Setelah
proklamasi dikumandangkan, sebagaimana dikemukakan terdahulu perubahan-perubahan
di berbagai aspek telah terjadi, tidak hanya dalam bidang pemerintahan, tetapi
juga dalam bidang pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan
merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian
kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia. Di tengah
berkobarnya revolusi fisik pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan agama.
Pembinaan pendidikan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan
kepada Departemen Agama.[16][9] Pemerintah dan bangsa Indonesia pada masa awal
kemerdekaan mewarisi sistem pendidikan yang bersifat dualistis, yaitu:
1) Sistem
pendidikan dan pengajaran modern yang bercorak sekuler atau sistem pendidikan
dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum, yang merupakan warisan dari
pemerintah kolonial Belanda.
2) Sistem
pendidikan Islam, yang tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri,
yaitu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlangsung di surau/langgar,
masjid dan pesantren serta madrasah yang bersifat tradisional dan bercorak
keagamaan semata-mata.
Pendidikan
agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada
bulan Desember 1946. Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang
menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (sekolah rakyat:
sekolah dasar). Keputusan tersebut belum berjalan dengan efektif dikarenakan
kondisi keamanan belum mantap. Pada tahun 1950 ketika kedaulatan telah pulih
maka rencana tersebut disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang
dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Depag dan Mr. Hadi dari Depdikbud.
Hasilnya antara lain :
1) Pendidikan
agama diberikan mulai kelas IV SR.
2) Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya Kalimantan dan Sumatera)
maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR dengan catatan mutu
pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang
pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV SR.
3) Di sekolah
SLTP dan SLTA (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam
seminggu.
4) Pendidikan
agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapatkan izin dari orang tua/wali.
5) Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama di tanggung oleh
Depag.[17][10]
Selanjutnya pendidikan agama diatur
secara khusus dalam UU Nomor 4 tahun 1950 pada Bab XII pasal 20, yaitu :
1) Dalam
sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan
apakah anak-anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
2) Cara
penyelenggaraan agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang
ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama
dengan Menteri Agama.
Sementara itu pada peraturan bersama
Menteri P & K dan Menteri Agama Nomor : 1432/Kab, 20 Januari 1951
(P&K), Nomor K 1.1652/Tanggal 20 Januari 1951 (Agama) diatur tentang
pendidikan agama di sekolah-sekolah, yaitu :
Pasal 1
Di tiap-tiap
sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan kejuruan) diberikan pendidikan
agama
Pasal 2
a. Di
sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai dari kelas IV; banyaknya 2 jam
dalam satu minggu.
b. Di
lingkungan yang istimewa pendidikan agama dapat dimulai pada kelas 1 dan jamnya
dapat ditambah menurut kebutuhan. Tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu, dengan
ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah di lain
lingkungan.
Pasal 3
Di
sekolah-sekolah SLTP dan SLTA, baik sekolah umum maupun sekolah-sekolah
kejuruan, diberi pendidikan agama 2 jam dalam tiap-tiap minggu.
Pasal 4
a. Pendidikan
agam diberikan menurut agama murid masing-masing.
b. Pendidikan
agam baru diberikan pada suatu kelas mempunyai murid sekurang-kurangnya 10 orang
yang menganut suatu macam agama.
c. Murid dalam
suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada
suatu waktu, boleh meninggalkan kelasnya selama pelajaran itu.[18][11]
Masa
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Dalam siding pleno MPRS, pada bulan
Desember 1960 diputuskan sebagai berikut : Bab II pasal 2 ayat 3 dinyatakan
bahwa : Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai
sekolah rendah (dasar) sampai universitas. Pada tahun 1966 MPRS telah bersidang.
Dalam keputusannya dibidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu
pendidikan agama menjadi hak wajib dari Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan
Tinggi Umum negeri di seluruh Indonesia.
Dalam siding MPR yang menyusun GBHN
tahun 1973 hingga sekarang, selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi
mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua jenjang pendidikan,
bahkan pendidikan agama seudah dikembangkan sejak Taman Kanan-kanak.
Dengan demikian, setelah merdeka,
pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem
pendidikan nasional. Selain itu pendidikan agama di sekolah juga mendapat
tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Pendidikan Islam setahap
demi setahap dimajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di
surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai beradaptasi
dengan tuntutan zaman. Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan madrasah dan
sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan.[19][12] Pendidikan Islam juga secara institusional masuk
dalam sistem pendidikan Islam, pendidikan agama Islam menjadi pelajaran wajib
di sekolah milik pemerintah, sekolah-sekolah umum diberikan pendidikan agama
selama 2 jam, serta ijazah lembaga pendidikan Islam seperti madrasah diseterakan
dengan sekolah milik pemerintah.
3.
Zaman
Reformasi
Pendidikan agama Islam di negeri
kita, adalah merupakan bagian dari Pendidikan Agama, dimana tujuan utamanya
ialah membinan dan mendasari kehidupan anak didik dengan nilai-nilai agama dan
sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, sehingga ia mampu mengamalkan syari’at
Islam secara benar dan sesuai pengetahuan agama.[20][13] Untuk mengatur agar pendidikan berjalan dengan baik
dan sesuai dengan hajat orang banyak, dan setelah melalui proses yang panjang
dengan berbagai macam peraturan yang dikeluarkan, maka akhirnya pemerintah
mengeluarkan kebijakan dengan memberlakukan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN).
Adapun bunyi RUU Sisdiknas pasal 12
ayat (1a) versi DPR, maupun pasal 13 (1a) versi Pemerintah adalah sama. Dengan
bunyi sebagai berikut :
“Setiap peserta didik pada satuan
pendidikan merupakan subjek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama”.[21][14]
Dari bunyi undang-undang tersebut
dapat dipahami bahwa pendidikan agama harus diajarkan di setiap satuan
pendidikan dan diajarkan oleh orang yang seagama. Guru-guru tersebut harus
disediakan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan swasta.
Selanjutnya, dari undang-undang ini
menimbulkan permasalahan ketika perekrutan guru yang seagama dengan peserta
didik terjadi di sekolah swasta yang dikelola oleh lembaga pendidikan
non-Islam, sementara peserta didiknya terdiri dari orang-orang Islam. Dan
kenyataannya hampir tidak pernah ditemukan pada sekolah Kristen/Katolik yang
peserta didiknya terdapat orang-orang Islam, menyediakan guru agama yang
beragama Islam.[22][15] Untuk memecahkan permasalahan tersebut, DPR
mengusulkan sangsi bagi yang melanggar melalui pasal 57 ayat (3) RUU Sisdiknas
(versi 3 Oktober 2002) yang berbunyi :
“Penyelenggaraan pendidikan di semua
jenjang jenis pendidikan yang melanggar ketentuan pasal 12 ayat (1a) baik
perorangan maupun kelompok diancam dengan pidana kurungan paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar).
Adanya sangsi hukuman inilah
kira-kira yang menjadi alasan bagi pihak pengelola pendidikan Kristen/Katolik
menolak RUU Sisdiknas tersebut. Sebab pada ketika tidak dikaitkan dengan
ancaman hukum seperti Undang-undang no. 2 tahun 1989 tidak menimbulkan
permasalahan. Hal ini mengindikasikan politik kristenisasi melalui pendidikan
secara terang-terangan telah terjadi di Indonesia. Perlu diingat bahwa memeluk
agama yang ia yakini (bukan dipaksa) merupakan hak individu masing-masing dan
sudah diatur oleh Undang-undang 1945.
C.
Kesimpulan
Campur tangan pemerintah terhadap
pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan untuk meratakan pendidikan ke
seluruh masyarakat. Pendidikan dan pemerintah dapat diistilahkan dengan sebuah
sistem yang bias lepas dari pemerintah. Jangan sampai kebijakan-kebijakan pada
zaman kolonial Belanda dan Jepang dalam bidang pendidikan masih dijalankan oleh
pemerintah kita.
Untuk itu, diharapkan kepada pemerintah
untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan dengan arif dan
bijaksana demi tercapainya tujuan pendidikan yang niatkan oleh pemerintah dan
masyarakat.
Daftar
Pustaka
Hawi, Akmal. 2008. Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Palembang. Rafah Press.
Nasution, S. 2001. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional. Jakarta. Rineka Cipta.
Zuhairini. 2004. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta. Bumi Aksara.
Niswah, Choirun. 2010. Sejarah
Pendidikan Islam (Timur Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.
Mustafa, H.A. dan Abdul Aly. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung. Pustaka Setia.
Sunanto, Musyrifah. 2010. Sejarah
Peradaban Islam Indonesia. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Arifin, M. 2000. Kapita Selekta
Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta. Bumi Aksara.
Undang-undang Sisdiknas (Sistem
Pendidikan Nasional). 2011. Jakarta. Sinar Grafika.
[3]Abu
Mujahid, Menyelisik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. http://kaahil.wordpress.com/2012/10/08/bagus-teori-makalah-bukti-sejarah-proses-masuknya-islam-ke-nusantara-indonesia-benarkah-islam-dibawa-pedagang-gujaratarab/
[4] Abu
Mujahid, Menyelisik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia.
[5]Misbah Gunawan S.Pd, Masuknya Islam Ke Indonesia_Islam In Indonesia.
http://www.slideboom.com/presentations/513841/MASUKNYA-ISLAM-KE INDONESIA_ISLAM-IN-INDONESIA
[12]
Niswah, Choirun. 2010. Sejarah
Pendidikan Islam (Timur Tengah dan Indonesia). Palembang. Rafah Press.