BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi ini memiliki
sejarah perjalanan hidup yang berbeda-beda. Dinamika kehidupan yang dialami
oleh setiap orang telah membentuk sebuah kepribadian. Dengan demikian, setiap
orang pasti akan belajar mengembangkan intelektualitas, moralitas dan
emosionalitasnya untuk dapat menghadapi gelombang kehidupan. Akan tetapi,
perjalanan hidup setiap orang, betapapun indah atau tragisnya tak akan mampu
menimbulkan kekaguman atau simpati siapa pun, bila tak pernah diceritakan,
terlebih lagi jika tidak dituliskan. Generasi kini, terlebih generasi mendatang
tak akan pernah mampu belajar dan mengambil hikmah dalam perjalanan kehidupan
seseorang, kalau ia tak pernah mendengar, apalagi membacanya.
Kekuatan
profil atau biografi sangat besar manfaaatnya bagi anak cucu, keluarga dan
masyarakat. Dalam sebuah profil atau biografi, kita dapat merekonstruksi dan
menilai perjalanan hidup seseorang, baik itu perkembangan moral, intelektual,
karir, emosi, pandangan hidupnya dan berbagai dimensi kehidupan yang telah
dilaluinya. Tak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang hebat dan berhasil di
bidangnya, ternyata salah satunya karena ia banyak belajar dari perjalanan
hidup seseorang.
Begitupun
perjalanan intelektual dan
spritual salah satu tokoh penting dalam dunia Islam yang dikenal dengan
panggilan Hujjah Al-Islam Imam Al-Ghazali, ia telah
banyak memberikan sumbangsih dalam bidang intelektualitas,
Spritualitas keislaman
pada masyarakat dunia
secara umum, dan pada masyarakat Islam secara
khusus.
Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh yang paling
berpengaruh dalam dunia agama telah banyak
melahirkan intelektual islam. Banyak orang yang sangat mengagumi ketinggian ilmu
dan keluasan pengetahuan sang Hujjah al-Islam, Imam Al-Ghazali. Mereka
tanpa segan mengagungkannya hingga taraf ”mengkultuskan” figur sang imam.
Bahkan ada yang mengatakan, andaikan ada nabi setelah Muhammad, Ghazali-lah
orangnya.[1]
Pribadi-pribadi teladan yang dihasilkan Al-Ghazali adalah mereka yang kita kenal sebagai tokoh-tokoh yang gaya kehidupannya
telah disaksikan oleh sejarah dan yang pasti dikenali oleh kita semua karena
kebijakan-kebijakan insani, nilai-nilai, semangat dan moral mereka yang luar
biasa. Mereka ini melestarikan dan mengembangkan perjuangan Islam dan
melindungi tradisi Muhammad dengan segenap jiwa, waktu, tenaga, pikiran, harta,
pemikiran dan semua yang dimiliknya.[2]
Mencintai dan mengaguminya tidaklah cukup. Lebih
penting lagi adalah adanya usaha memahami dan mengerti tentang mereka, itu akan memberikan dampak
yang luar biasa untuk bisa menyulut semangat, cahaya, kepekaan insani, dan
memberikan arah perjuangan dalam kehidupan kita sendiri. Dengan demikian, untuk
membantu rakyat dan kita semua untuk
memahami mereka, sejatinya ada satu generasi atau orang yang simpatik dengan perjalanan tokoh-tokoh Islam untuk
menuliskan catatan perjalanan tokoh-tokoh tersebut lewat aksi, kebijakan, dan
pemikiran-pemikiran mereka yang telah dituangkan dalam berbagai bentuk
buku-buku atau makalah yang beredar dengan menggunakan seluruh sumber yang kita
miliki untuk memperkenalkan aliran pemikiran mereka, gaya hidup, arah sosial
dan peranan historis, serta budaya dari pribadi-pribadi teladan ini.
Mencermati
realitas ini, maka upaya untuk menuliskan dan membukukan perjalanan hidup Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali yang juga merupakan sesuatu yang sangat penting.
Karena itulah, penulis
bermaksud mengurai
lebih sederhana dari perjalanan dan pengembaraan Intelektual dan pergolakan
batin menuju kehidupan sufistik, konsep Ma’rifah,
mendamaikan Syariah dan tasawuf, dan pengaruhnya terhadap dunia Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan
di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengembaraan
intelektual imam al-Ghazali dan pergolakan batin menuju kehidupan yang
sufistik?
2. Apa konsep ma’rifat, syarat-syarat dan tahapan-tahapan yang harus dilalui
seorang sufi?
3. Bagaimana mendamaikan syariat dan tasawuf serta pengaruhnya dalam Dunia
Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengembaraan intelektual Imam al-Gazali dan pergolakan menuju kehidupan
sufistik
Abu
Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali yang lebih dikenal Imam al-Ghazali,
ketika ia masih kecil, beliau dan saudaranya diserahkan kepada ahli tasawuf
yang kelak mendidiknya. Di Durjan, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqhi dan bahasa
Arab. Dari sana, al-Ghazali meneruskan perjalanannya ke kota Naisabur, dekat
Thus. Di kota ini dia belajar kepada imam Al-Haramain yang mengajarkan
berbagai ilmu pengetahuan. Disini
pulalah dia mulai memperdalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, ilmu kalam dan ilmu-ilmu lainnya yang
dianggap penting. Karena kecerdasannya
itulah imam Al-Haramain mengatakan al-Gazali itu adalah lautan tak
bertepi.[3]
Beberapa
tahun kemudian, al-Ghazali pindah ke Baghdad sebagai kota pusat peradaban dan
kebudayaan Islam pada masa itu. Disini dia mulai mengajarkan ilmunya, dan pada
akhirnya ia mulai dikenal oleh khalayak ramai karena kecerdasannya dalam
menyampaikan ilmunya ke banyak orang. Kebesaran jiwa yang tumbuh dalam pribadi imam al-Ghazali mendapat
perhatian dari perdana menteri Nizham Al-Mulk yang pada masa itu memerintah di bawah Dinasti Sultan Saljuk. Atas kebijaksanaan
perdana menteri itu, al-Ghazali diangkat menjadi guru besar pada Universitas
Nizhamiyah pada tahun 484 Hijriyah.
Kedudukannya
sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan, membuat namanya masyhur di mata orang-orang yang ada di sekitarnya. Dengan kemasyhurannya tersebut
membuatnya terpengaruh dan cinta terhadap materi, mengharapkan kehormatan,
kemewahan dan harta benda. Tetapi pengaruh tersebut tidak lama menyelinap pada
dirinya, karena kemudian timbul
pergolakan-pergolakan dalam batinnya, pergolakan dan pertentangan antara ilmu dan amal.[4]
Pergolakan
yang muncul di dalam batinnya itu membuatnya jatuh sakit. Seorang dokter yang
hendak menolongnya mengatakan bahwa penyakitnya sukar disembuhkan, karena
penyakit itu bukan berasal dari luar, melainkan datang dari dalam. Oleh karena
itu, segala pengobatan yang datang dari luar tidak akan mampu membawa manfaat
baginya.
Oleh
sebab itu beliau berusaha untuk mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya
sendiri. Dengan kembali ke jalan-Nya, al-Ghazali bermunajat dan memohon
pertolongan kepada Allah agar disembuhkan dari segala penyakit yang menderanya.
Akhirnya, berkat anugerah Allah, sakitnya menjadi sembuh, bahkan beliau
mendapat ilham dan petunjuk dari-Nya. Hatinya menjadi terang, sikapnya menjadi
tabah serta memperoleh kepastian tentang ilmu. Beliau berani meninggalkan
segala kemewahan dunia, harta kekayaan, kehormatan dan keluarganya yang ada di
Baghdad untuk kemudian pergi Suriah pada tahun 489 H. Sebelumnya, segala harta
kekayaan yang diperoleh di Baghdad telah diwakafkan terlebih dahulu. Di kota
Damaskus, baliau tinggal selama sebelas tahun.[5]
Di
Damaskus inilah mula-mula beliau melakukan pertobatan dengan melakukan khalwat,
beriktikaf, menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak dan budi
pekertinya. Ia selalu berpikir tentang Allah. Sehingga dari sini kemudian
beliau hijrah ke Yerussalem. Di sini pun beliau menetap dan berkhalwat di
masjid Baitul Maqdis. Beberapa tahun kemudian, beliau menuju Mesir, Mekkah dan
Madinah untuk menunaikan ibadah Haji dan ziarah ke maqam Nabi Muhammad SAW.
Dari
pengembaraan intelektual dan spritual yang dilakukan oleh Al-Ghazali itu
berjalan bertahun-tahun. Setelah sekian lama, ia akhirnya kembali ke Baghdad
dan menetap di sana.
Setelah kedatangannya, ia kemudian diminta kembali oleh perdana menteri Nizham
Al-Mulk untuk menjadi guru besar pada
universitas Nizhamiyah pada tahun 500 H. Yang bersamaan dengan tahun 1106 Masehi.
Setelah
mengarungi lautan hidup yang luas ini yang penuh dengan lika-liku dan tantangan
yang begitu luar biasa, menyelami ilmu yang sangat dalam serta perjalanan
spritual yang begitu bermakna. Dan pada akhirnya beliau berpulang ke
rahmatullah pada tanggal 9 Desember 1111 M. (505 Hijriyah).
B. Konsep Ma’rifat, Syarat-syarat dan Tahapan-tahapan yang Harus Dilalui
Seorang Sufi.
1.
Pengertian Ma’rifat
Dari segi
bahasa Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang
artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang
rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa
didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang
objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
bathinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan
segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk
menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Ma’rifat muncul seiring
dengan adanya istilah Tasawwuf, dimana dalam Tasawwuf (dalam hal ini para sufi)
berusaha melakukan pendekatan dan pengenalan kepada Allah untuk mencapai
tingkat ma’rifatullah yang tinggi. Disaat itulah mulai dikenal istilah
Ma’rifat.
Agar tidak
terjadi kesalahan persepsi atas ma’rifat, ada baiknya kita mendalami kata ini
secara komprehensif menurut pandangan dari sufi pertama yang berbicara tentang
ma’rifat yang spesifik tentang tasawwuf yaitu Dzunnun al-Mishri, beliau
berpendapat bahwa “Ma’rifat Sufistik pada hakekatnya adalah ‘irfan atau Gnost.
Tujuan ma’rifat menurut beliau adalah berhubungan dengan Allah, musyahadat
terhadap wajah Allah dengan kendalinya jiwa basyariyah kepada eksistensinya
yang inhern, wasilahnya dan mujahadah diolah menjadi jalan spiritual. Ma’rifat
datang ke hati dalam bentuk kasyf dan Ilham. Dalam arti Sufistik,
ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan ini lengkap dan jelas sehingga jiwa merasa satu dengan Allah.
Harun Nasution,
mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis,
pengetahuan dengan sanubari. Dalam artian mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga
hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan
:
1. Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan
ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Makrifat adalah
cermin, kalau seorang yang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah
Allah.
3. Yang dilihat
orang arif saat tidur dan bangun hanyalah Allah.
4. Sekiranya
Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihatnya akan mati karena tak
tahan melihat kecantikan dan bentuk keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi
gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang.[6]
Dari beberapa
definisi di atas dapat kita fahami bahwa ma’rifat adalah mengetahui
rahasia-rahasia Allah dengan hati sanubari. Tujuan yang ingin dicapai ma’rifat
adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan. Sebagaimana
dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, hal ini disebabkan
karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan
kecintaan.[7]
Ma’rifat dalam
arti harfiah adalah Pengenalan seorang Hamba terhadap Tuhannya, dalam hal ini
adalah Allah, karena tujuan utama dari seorang hamba adalah mengenal Tuhannya
dengan baik dan berusaha mencintai-Nya.
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajat atau level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54).
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajat atau level yang tinggi. “(Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS. 5: 54).
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù ÎAù't ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!Ïr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# crßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# wur tbqèù$ss sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºs ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇÎÍÈ
Artinya
:
…
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin
….[8]
Dalam tasawuf,
setelah diraihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain
kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual
seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain-lain nantinya akan berujung pada
mahabatullah (cinta kepada Allah). Ma’rifat kepada Allah adalah puncak
tujuan seseorang hamba. Maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan
untuk mengenal kepada-Nya, tidak usahlah kau hiraukan berapa banyak amal
perbuatanmu; meskipun masih sangat sedikit amal kebaikanmu sekalipun. Sebab ma’rifat
merupakan suatu karunia pemberian langsung dari Allah, maka ia sekali-kali
tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Fitrah manusia
mengenal Allah, baik dalam pengertian ‘aam (umum) maupun dalam arti khush
(khusus). Yang dimaksud mengenal Allah dalam pengertian umum ialah pengenalan
iman kepada Allah, sebagaimana yang dikaji dalam ‘aqoidul iman yang
sangat mendasar. Itulah ilmu tauhid yang disebut sebagai inti agama. Atau pokok
dari segala yang pokok. Dengan kata lain, tauhid merupakan keyakinan yang
paling dasar untuk diajarkan kepada setiap manusia sebelum lebih jauh menjalar
pada aspek-aspek lain dalam agama.
Adapun yang
dimaksud pengenalan secara khusus ialah mengenal Allah dalam arti Ma’rifatullah
(melihat Allah) dengan mata hati. Maka ia melihat “Tak ada perbuatan yang
bertebaran di alam ini, kecuali perbuatan Allah; Tak ada nama yang melekat pada
suatu apapun,melainkan nama Allah; Tak ada sifat yang mewarnai diri, kecuali
sifat Allah; Tak ada zat yang meliputi makhluk, melainkan Zat Allah”.[9]
Anugerah Allah
kepada hamba yang dikasihi–Nya merupakan lensa ma’rifat yang hakiki
kepada-Nya. Sebab bagi orang yang tak dapat anugerah Allah, ia mengenal Tuhan
mereka menurut versi angan khayal mereka. Seperti Fir’aun yang menuhankan
dirinya, Namrud menuhankan patung batu (arca) dan di zaman kini banyak orang
yang menuhankan sesuatu selain Allah, seperti menuhankan kekuatan alam dan
teknologi. Mereka itu sebagai contoh orang yang tidak mendapat anugerah ma’rifat
dari Allah.
Jika Allah
telah menunjukkan kepada hamba-Nya dengan sebagian sebab-sebab sehingga ia
menjadi orang yang ma’rifat,
kemudian kepadanya dibukakan pintu ke-ma’rifat-an yang tetap
(sakinah) sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa.
Dan ini
merupakan nikmat yang paling besar.Apabila kamu dibukakan pintu ma’rifat
yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu yang sedikit. Sebab di atas
telah diterangkan bahwa ma’rifat itu adalah anugerah dari Allah yang
datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal kebaikan.
Ma’rifat adalah
anugerah Allah yang didasari kasih Tuhan kepada hamba-Nya. Adapun amal ibadah
sebagai persembahan hamba kepada Tuhannya. Dimisalkan; anugerah itu seperti
martabat seorang budak yang diangkat oleh raja menjadi perdana menteri. Adapun
amal ibadah seumpama upeti rakyat kepada rajanya. Maka betapa sangat jauh
perbedaan antara keduanya.
Sesungguhnya
maksud dan tujuan kebanyakan manusia memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar
mereka dapat mendekatkan (Taqarrub) dirinya kepada Allah dengan amal
itu. Tetapi perlu disadari bahwa itu tidak akan berubah maksudnya karena banyak
atau sedikitnya amal seorang hamba.
Dalam hal ini
dapat dimisalkan seperti orang yang sedang menderita sakit, disebabkan penyakit
yang dideritanya maka menjadi berkuranglah ibadahnya kepada Allah. Boleh jadi
penyakit yang dideritanya itu sebagai sebab dan isyarat terbukanya pintu ke-ma’rifat-an
kepada Allah.
Oleh sebab itu
jangan mempunyai perasaan banyaknya amal ibadah yang tertinggal disebabkan
sakit. Dengan sakit yang dideritanya itubisa merasa dekat dengan Allah.
Perasaan lapang dada, luas hatinya dan telah meninggalkan berbagai kenikmatan
dunia seraya diiringi oleh rasa cinta negeri akhirat. Juga telah siap tuk
meninggalkan dunia nan fana sebelum kematian itu datang. Ini juga sebagai
pertanda orang yang telah mendapatkan Nur Ilahiatau anugerah Allah. Kesadarannya
bahwa Allah bisa berbuat apa saja menurut kehendaknya, sebagai tanda
kearifannya.
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa “ma’rifat yang dimiliki sufi, cukup
dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.[10]
Tujuan utama ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifat pada
Dzatullah. Ma’rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengamalan
jiwa. Karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca
indera, tetapi hati atau kalbu. Dalam ajaran tasawuf hati atau kalbu merupakan
organ yang amat penting karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa
menghayati segala rahasia yang ada alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan
ma’rifat pada Dzatullah”.
Al-Gazali berkata: “Kemuliaan dan kelebihan manusia
yang mengatasi segala mahluk lainnya adalah kesiapannya ma’rifat pada Allah
yang di dunia merupakan keindahan kesempurnaan dan kebanggaan di akhir
merupakan harta dan simpanannya, alat untuk mencapai penghayatan adalah kalbu
atau hati, hati pula yang membuka tabir untuk menghayati alam gaib yang berada
di sisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya
dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, hati akan diterima Allah apabila
bersih dari selain Allah hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbun
selain Allah, hati yang mencari Tuhan, hati pula yang diperintahkan untuk
beribadah padanya serta mendekatkan dirinya, berbahagialah bila hatinya bersih,
dan celakalah bila hatinya kotor dan sesat, bila manusia kenal kepadanya pasti
kenal akan Tuhannya sebaliknya tidak mengenal hatinya pasti tak kenal akan
tuhannya”.[11]
Dari
ungkapan imam Al-Gazali tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
manusia pada hakekatnya berasal dari Allah dan kembali kepada Allah yang satu
yaitu sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surah Al-Ikhlas ayat 1:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ
Terjemahannya:
“Katakanlah (Muhammad), Dialah
Allah yang Maha Esa”.[12]
2. Syarat-syarat Ma’rifat
Bila seseorang ingin mencapai tingkat yang paling tinggi dalam perjalanan
tasawuf “Ma’rifatullah”[13],
maka diperlukan syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Harus memiliki nilai, dan tekad serta keyakinan ingin bertemu dengan Allah.
c) Senantiasa mensyukuri nikmat Allah.
d) Dalam situasi apapun dia selalu mengingat Allah.
e) Harus dapat mengenal diri pribadinya.
f) Harus mengenal sifat-sifat Allah.
g) Menyukai tafakkur.
h) Mengenal segala sesuatu di dunia ini, senantiasa dikembalikan pada
sumbernya yang Sang Penciptanya.
3. Tahapan-tahapan yang harus dilalui Sufi (Maqam)
Perjalanan dari fase ke
fase berikutnya adalah perjalanan yang berat dan sulit, karena diperlukan
perjuangan dan pengorbanan yang disebut Maqamat. Perjuangan itu
meliputi aspek lahiriah hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalat
maupun aspek batiniah atau hakekat, mempertinggi mutu pengetahuan dan
mengamalkannya, melenyapkan sifat-sifat yang tidak baik dan mengisinya dengan
sifat-sifat yang baik dan terpuji.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah:
a) Taubat, menurut sufi, yang
menyebabkan seorang jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah
sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan karena itu apabila seseorang
yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya ia harus membersihkan dirinya dari
segala dosa dengan jalan bertaubat kepada-Nya.
b) Az-Zuhud, zuhud dalam dunia
sufi adalah segala kehidupan materil adalah sumber kemaksiatan dan penyebab
atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulkan
kerusakan dan dosa. Sesorang calon sufi harus lebih dulu zuhud, mengabaikan
kehidupan yang bersifat duniawi.
c) Al-Wara’, wara’ adalah
menghindari apa saja yang tidak baik. Tetapi sufi memiliki pengertian lain,
mereka mengartikan wara’ meninggalkan hal-hal yang jelas baik yang
menyangkut makanan, pakaian, dan lain-lain. Ibrahim bin Adham: Wara’
adalah meninggalkan sesuatu yang masih diragukan.
d) Al-Faqr , al-faqr
berbeda di antara para sufi tetapi, bagiamana konotasi yang diberikan sufi,
pesan yang tersirat di dalamnya agar manusia bersikap hati-hati terhadap
pengaruh negativ yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Sufi
merasa lebih baik tidak punya apa-apa atau merasa cukup apa adanya.
e) As-Sabr, yang berarti sabar
adalah konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah, berani menghadapi
kesulitan, tabah menghadapi cobaan. Sabar erat kaitannya pada pengendalian
diri, sikap, dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengontrol dan
mengendalikan nafsunya maka sikap dan daya sabar akan tercipta.
f) Tawakkal, tawakkal adalah
pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melakukan usaha.
Tidak boleh bersikap aposteriori terhadap rencana yang telah disusun tetapi
harus bersikap menyerahkan kepada Allah, berusaha dan berencana
tapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.
g) Ar-Rida’, Dzun nun Al-Misri, rida’
adalah menerima tawakkal dengan kerelaan hati, tanda-tanda orang yang rida’
mempercayakan hasil usahanya sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa
gelisah sesudah terjadi ketentuan, dan cinta yang bergelora di kala turunnya
petaka.[15]
C. Mendamaikan Syariat dan Tasawuf serta Pengaruhnya dalam Dunia Islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah melalui Rasul-Nya,[16]
dan segala yang diajarkan oleh Rasul. Para pakar modern banyak yang berbeda
pendapat tentang hubungan antara sufisme dengan ajaran Islam. Sebagian
berpendapat bahwa sufisme adalah perkembangan eksotik, dan sebagian jejaknya
merupakan unsur dari sumber asing atau yang lain misalnya mereka dianggap
mewarisi asketisme_kepertapaan. Sementara, yang lain menentang pandangan
tersebut, bagi mereka sufisme adalah peristiwa yang sepenuhnya Islami, bahkan
mereka mengatakan bahwa kehidupan bersahaja seperti yang dijalankan kaum sufi
adalah meniru kehidupan Rasulullah dan sahabatnya.[17]
Al-Sarraj (w. 568), Al-Kalabadzi (w. 390), Abu Nuim (w. 430) dan
Al-Qusyairi (w. 165) mereka mengatakan: sufisme merupakan ekspresi murni
tentang rohani ajaran Islam dan merupakan perwujudan teramat sempurna dari
nilai-nilai rohaniah.[18]
Untuk menjalin keselarasan pengamalan tasawuf dengan syariat telah
dicetuskan dan menjadi keprihatinan ulama-ulama sufi sebelumnya, namun baru
imam al-Gazali yang secara kongkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya.
konsepsi al-Gazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara
pengamalan sufisme dengan syariat dalam bukunya yang monumental “Ihya
Ulumuddin”.
Dari susunan Ihya’ Ulumuddin tergambar pokok-pokok pikiran al-Gazali
mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf yakni, Sebelum mempelajari
dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah
terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat
secara tekun dan sempurna. Karena dalam hal syariat seperti misalnya
shalat, puasa, dan lain-lainnya, didalam Ihya’ diterangkan tingkatan, cara
menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut
tasawuf dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, orang
khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya.
Sesudah menjalankan syariat dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid
ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian
nafsu-nafsu, dan kemudian lakukan wiridan dalam menjalankan zikir, hingga
akhirnya berhasil mencapai ilmu khasyaf atau penghayatan makrifat.
Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual yang mistik
ini harus mampu menahan godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang sering
menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca indera dan
anggota badan. Jadi sebagai bangunan sarana penyelarasan hubungan syarat dan
tasawuf Ihya’ Ulumuddin merupakan karya monumental yang cukup lengkap
dan teliti serta sistematis. Maka wajarlah bahwa baik lantaran pengaruh dan
juga pemikir sufisme yang brilian, dan juga karyanya yang agung ini (Ihya’),
tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahli syariat dan diterima sebagai
bagian dari sistem agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan oleh ummat Islam
pada umumnya. Bahkan tasawuf kemudian menyebar dan telah menjadi bagian dari
Islam, dan mewarnai pengamalan Islam keseluruh pelosok alam Islam yang
berlangsung berabad-abad, sejak abad ketiga belas hingga dewasa ini.[19]
Syariat dan tasawuf sebagai bagian integral yang tak terpisahkan antara
satu dengan dengan yang lainnya, maka tidak ada tasawuf tanpa syariat.[20]
Al-Qusyairi mengatakan:
“Tidak ada maqam atau ahwal yang sejati tanpa
bekal yang cukup akan pengetahuan dan perbuatan baik seperti yang diajarkan
oleh Al-Qur’an dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati tanpa bekal
yang cukup akan pengetahuan dan berbuat baik seperti diajarkan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah, tidak ada perjalanan mistis yang sejati bagi mereka yang tidak
memenuhi ibadah wajib”[21]
Kecintaan kepada tasawuf hendaknya tidak mengabaikan syariat bahkan semakin
tinggi ilmu tasawuf semakin mendalam pula kewara’annya, kepatuhan dan
ketaatannya serta kecintaannya terhadap Allah bukan sebaliknya. Kesalahan
mendasar dalam ajaran kaum sufi adalah sikap kurang mementingkan syariat
seolah-olah shalat, puasa dan berbagai bentuk ibadah mahdah hanyalah untuk
orang awam. Seseorang yang sudah mencapai maqam yang paling tinggi dalam
tasawuf tidak perlu lagi syariat. Padahal seharusnya makin tinggi maqam
seseorang semakin besar pula kesetiaanya terhadap ajaran-ajaran syariat,
kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapapun, bahkan para
wali yang telah mencapai tingkat tertinggi, tidak ada satu maqam pun yang dapat
bebas dari kewajiban syariat.
Pengaruh yang sangat mendasar ketika al-Gazali menjadikan syariat sebagai
landasan utama dalam hidup tasawuf yang mengikat para sufi sampai pada maqam
tertinggi maka terbukalah rahasia-rahasia dari perbuatannya seperti shalat dan
semua gerakannya bukan sebaliknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah
diutarakan, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Al-Ghazali dalam pengembarannya mencari kebenaran telah banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu. Sejak
pertama kali bersentuhan dengan kalam, al-Ghazali menganggap bahwa kalam adalah disiplin ilmu yang telah mencapai
tujuannya, namun bukan tujuanku. Tujuan kalam adalah memelihara aqidah
Ahlussunnah dan mempertahankannya dari ronrongan kaum bid’ah. Setelah mendalami
kalam yang menurutnya tidak mampu memenuhi hasratnya. Ia kemudian beralih ke
filsafat. Filsafat pun menurutnya, tidak mampu membuka tabir segala
kesulitannya. Sehingga suatu saat tersiar kabar bahwa ada golongan Ta’limiyah
yag mampu dan mengerti makna segala sesuatu dengan perantaraan seorang imam
yang ma’shum. Akhirnya al-Ghazali bergabung. Namun itupun tidak mampu
membuatnya betah terhadap pencariannya karena simpang siurnya berbagai pendapat
yang ada di dalamnya.
Terakhir, al-Ghazali mengkonsentrasikan dirinya
pada jalan sufi, yang menurutnya inilah jalan yang mampu membuka segala
tabir yang menutupi mata lahir dan bathinnya untuk dekat kepada Allah. Penulis
menilai bahwa al-Ghazali sangat keliru menilai semua perjalanan spritualnya
karena menurut penulis bahwa dibalik semua perjalannya ada makna yang sangat luar biasa di dalamnya bahwa,
berkat perjalanan itu ia mampu menemukan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Konsep ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturannya. Syarat-syarat yang
dilalui: harus memiliki nilai dan tekad serta keyakinan ingin bertemu dengan
Allah, pembersihan jiwa, senantiasa mensyukuri nikmat Allah, dalam situasi
apapun dia selalu mengigat Allah, harus dapat mengenal dirinya, harus mengenal
sifat-sifat Allah, menyukai tafakkur, dan mengenal segala sesuatu di dunia ini,
senantiasa dikembalikan pada sumbernya yang sang penciptanya. Tahapan-tahapan maqam yang dilalui:
Taubat, al-Zuhud, al-Wara, al-Faqr, al-Sabar, Tawakkal, dan al-Rida
3. Usaha al-Ghazali mempertemukan syariat dengan tasawuf dalam
konteks tertentu telah menemukan titik terang. Dengan perjalanan sufi yang ia
lakukan dari maqam syariat, tariqat, hakikat dan ma’rifat, mampu
mengantarkan manusia dekat dengan Tuhan-Nya.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
sangat kami butuhkan guna perbaikan makalah berikutnya. Dan semoga makalah ini berguna untuk kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Majmu’ah
Rasa’il al-Imam al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyady
dengan judul Samudera Pemikiran Al-Ghazali, Buku Kedua (cet I ;
Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002)
--------------, Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, Terjemahan oleh
Achmad Khudori Soleh dengan judul, Kegelisahan al-Ghazali; Sebuah
Otobiografi Intelektual, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 1998)
Al-Nisabury, Al-Qusyairi, Al-Risalatul
Al-Qusyairiyyah Fi Ilmu Tasawuf, diterjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah
Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997)
Ansari, Muhammad Abd Haq, Antara Sufisme dan Syariah (Cet. II;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)
Anwar, Rosihan, Ilmu
Tasawuf (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2001)
AS,
Asmaran, Ilmu Pengantar Studi tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002).
Bagir, Haidar, Buku
Saku Tasawuf (Bandung: Mizan, 2002)
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surbaya:
Al-Hidayat, 1989)
http://donggalagenius.blogspot.com/2013/01/kabir-qutubuzzaman-al-ghazali-ra.html.
http://tonydreamtheater.wordpress.com/2012/03/20/apa-itu-marifat/.
http://constantine23.wordpress.com/2013/04/03/syariat-tarikat-hakikat-makrifat.html)
Kalsum, Ummu, Ilmu tasawuf (Makassar, 2003)
Mahmud,
Abdul Halim, Tasawuf Di Dunia Islam (Cet. I;
Bandung: Pustaka Setia, 2002)
Mustofa, A, Akhlak Tasawuf (Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, 1999)
---------------, Filsafat Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka Setia,
2007)
Mohammad Taufiq, Quran In Word (Aplikasi
Ver. 1.2.0 ; Taufiq Product).
Nasution, Harun , Filsafat
dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1999) .
Permadi, K, Pengantar Ilmu Tasawuf (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta,
1997)
Romdon, Tasawuf Dan
Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1993)
Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997)
[2]. Salah satu
muridnya yang paling cerdas adalah Abu
Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu
menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin karya imam Ghazali. Disamping itu
beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al Ghazali. Lihat juga
http://donggalagenius.blogspot.com/2013/01/kabir-qutubuzzaman-al-ghazali-ra.html.
diakses pada tanggal 25 Nopember 2013
[4]. Al-Ghazali, Kitab
al-Munqidz min adh-Dhalal, Terjemahan oleh Achmad Khudori Soleh dengan
judul, Kegelisahan al-Ghazali; Sebuah Otobiografi Intelektual, (Cet. I ;
Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), h. 8
[6]. Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan
Bintang, 1999), h. 74
[7]. التعرف لمذهب
أهل التصوف. Al-Kalazabi, A.M dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam
Islam, bab tentang Ma’rifah, h. 73
[9].
http://tonydreamtheater.wordpress.com/2012/03/20/apa-itu-marifat/. di akses pada tanggal, 25 November 2013
[10].
(http://constantine23.wordpress.com/2013/04/03/syariat-tarikat-hakikat-makrifat.html),
di akses pada tanggal, 22 November 2013, Pukul 02 : 28 Wita.
[11]. Lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangan dalam
Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 122-123.
[14]. Takhalli
adalah membersihkan atau mengosongkan diri dari dosa dan sifat-sifat tercela
sedangkan tahalli adalah mengisi atau menghiasi diri dengan
perbuatan-perbuatan yang diperintahkan Allah, Lihat juga, Romdon, Tasawuf
Dan Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam,
1993), h. 32-33.
[15]. Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan
Bintang, 1999), h. 65-67. Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Studi
tasawuf, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 109-131. Dan
Abdul Halim Mahmud, Tasawuf Di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia,
2002), h. 49-97.
[16]. Muhammad Abd
Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), h. 103.
[1] Lihat Nicholson, 2002 : 56, di dalam Majmu’ah Rasa’il al-Imam
al-Ghazali, yang diterjemahkan oleh Kamran As’ad Irsyady dengan judul Samudera
Pemikiran Al-Ghazali, Buku Kedua (cet I ; Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002)
h. xi
[2] Salah satu muridnya yang paling cerdas
adalah Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin
Abi Tholib Al Razi (w.522 H), beliau mampu menghafal kitab ihya’ ‘ulumuddin
karya imam Ghazali. Di samping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada imam Al
Ghazali. Lihat juga
http://donggalagenius.blogspot.com/2013/01/kabir-qutubuzzaman-al-ghazali-ra.html.
diakses pada tanggal 25 Nopember 2013
[4] Al-Ghazali, Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal, Terjemahan oleh Achmad
Khudori Soleh dengan judul, Kegelisahan al-Ghazali; Sebuah Otobiografi
Intelektual, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), h. 8
[7] التعرف
لمذهب أهل التصوف. Al-Kalazabi, A.M dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam
Islam, bab tentang Ma’rifah, h. 73
[9] http://tonydreamtheater.wordpress.com/2012/03/20/apa-itu-marifat/.
diakses pada tanggal, 25 November 2013
[10] (http://constantine23.wordpress.com/2013/04/03/syariat-tarikat-hakikat-makrifat.html),
diakses pada tanggal, 22 November 2013, Pukul 02 : 28 Wita.
[11] Lihat Simuh, Tasawuf
dan Perkembangan dalam Islam, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), h. 122-123.
[14] Takhalli adalah membersihkan atau mengosongkan diri
dari dosa dan sifat-sifat tercela sedangkan tahalli adalah mengisi atau
menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan yang diperintahkan Allah, Lihat juga,
Romdon, Tasawuf Dan Aliran Kebatilan, (Cet. II; Yogyakarta: Lembaga
Studi Filsafat Islam, 1993), h. 32-33.
[15] Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang,
1999), h. 65-67. Lihat juga Asmaran As, Ilmu Pengantar Studi tasawuf,
(Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 109-131. Dan Abdul Halim
Mahmud, Tasawuf Di Dunia Islam, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2002),
h. 49-97.
[16] Muhammad Abd
Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, (Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1993), h. 103.
[21] Imam Al-Qusyairi Al-Nisabury, Al-Risalatul Al-Qusyairiyyah Fi
Ilmu Tasawuf, diterjemahkan oleh Muhammad Lukman Hakim, Risalah
Al-Qusyariyah Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar